Bangkalan – Inovasi Salt Centre Terintegrasi, menjadi salah satu terobosan dari PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore atau PHE WMO, untuk meningkatkan produksi garam di Bangkalan Madura, Jawa Timur. Tidak hanya membantu warga sekitar terutama di tempat pelelangan ikan atau TPI akan kebutuhan garam. Tetapi juga memanfaatkan sampah di masyarakat yang awalnya tidak bernilai ekonomi.
Yang dikembangkan adalah Pengembangan Siram Berbakat. Air tua, yakni air laut yang telah diendapkan beberapa hari hingga mencapai kadar 22, lalu dimasukkan ke wadah ini untuk proses kristalisasi. Nah, pembakarannya menggunakan briket, yang merupakan sampah dari sekitar dan masyarakat yang awalnya tidak bernilai ekonomi.
Apalagi selama ini ada permasalahan sampah di pesisir baik organik dan juga anorganik. Desa Banyusangka, Kabupaten Bangkalan, yang menjadi lokasi pengembangan Salt Centre tersebut, memiliki kawasan TPI terbesar di Kabupaten Bangkalan. Sayangnya, kesadaran akan pengelolaan lingkungan juga masih rendah, sampah kerap kali dibuang sembarangan. Banyusangka yang berada di kawasan pesisir juga mendapatkan banyak sampah kiriman dari arus laut, bahkan kondisi ini juga menyebabkan banjir di Desa Banyusangka.
Dengan inovasi ini dilakukan pengelolaan sampah yang bekerjasama dengan Rumah Daur Ulang (RDU) Kabupaten Bangkalan. Sampah yang telah dikumpulkan dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk proses kristalisasi garam. “Kami ingin keberadaan kami membawa nilai manfaat kepada pemangku kepentingan, khususnya masyarakat di sekitar wilayah operasi. Ini sejalan dengan komitmen perusahaan untuk mendukung kinerja keberlanjutan melalui program Environmental, Social & Governance (ESG) dan mendukung pemerintah mencapai target agenda internasional khususnya Sustainable Development Goals, dimana program ini utamanya berkontribusi pada tujuan no. 8 Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi,” jelas GM Zona 11 Muzwir Wiratama, dalam peninjauannya.
Kebutuhan akan garam terutama di Bangkalan, cukup tinggi. Terutama di TPI yang ada di Desa Banyusangka, Kabupaten Bangkalan. Tetapi kerap kali produksi lewat konvensional, belum mampu memenuhi itu. Belum lagi berbicara cuaca, yang tentu akan semakin berpengaruh pada panen dan hasil garam itu sendiri.
Untuk mengatasi terbatasnya produksi garam tersebut, PHE WMO mengembangkan inovasi Salt Centre Terintegrasi itu. Tujuannya, mempersiapkan petani garam bertahan di tengah ketidakpastian cuaca. Teknologi yang dikembangkan berupa pengenalan cuaca, teknologi ulir filter (TUF) dan kristalisasi garam berbahan bakar briket rakyat (Pengembangan Siram Berbakat). Secara umum, produksi garam di Tanah Air mengalami penurunan. Padahal kebutuhannya selalu meningkat setia tahun. Produksi garam di Kabupaten Bangkalan hanya 740 ton dari target yang ditetapkan yakni 4.000 ton atau hanya 18,5 % dari target Kabupaten Bangkalan.
Tahun 2022 PHE WMO telah melakukan inovasi rumah garam portable dan alat cuci garam untuk meningkatkan produksi dan kualitas garam dimana capaian produksi yakni sebesar 32 ton. Kualitas garam rakyat juga meningkat dengan indikator pengukuran kadar NaCl dari sebelumnya 56,12 persen menjadi 94,07 yang telah memenuhi standar garam konsumsi/ garam meja. Sedangkan pada tahun 2023, melalui inovasi yang telah dikembangkan untuk meningkatkan kuantitas produksi garam rakyat nyatanya telah berhasil meningkatkan produksi garam mencapai 54 ton.
Mengenai itu, GM Zona 11 Muzwir Wiratama, menjelaskan bahwa usaha garam rakyat pada dasarnya sangat potensial. Sebab Indonesia adalah negara kepulauan, yang sebagian besar wilayahnya adalah laut. Jelas dia, untuk itu PHE WMO berupaya mendukung upaya pemerintah dalam hal produksi garam nasional dengan memberdayakan petani garam di Desa Banyusangka, Kecamatan Tanjungbumi, Kabupaten Bangkalan. Lanjutnya menjelaskan, melalui inovasi dan pengembangan teknologi tersebut, sehingga usaha garam rakyat semakin efisien, berkualitas. Juga menjadi komoditi strategis yang dapat meningkatkan kesejahteraan petambak garam dan masyarakat.
Program pengenalan cuaca merupakan peningkatan kapasitas petani garam untuk melakukan pemantauan awan agar dapat melakukan prediksi cuaca secara mandiri. Kelompok penerima manfaat dilatih untuk mengakses data cuaca pemerintah sebagai data sekunder dan membuat laporan harian pengamatan cuaca. Pengamatan cuaca dilakukan dengan menggunakan teropong binocular, windsocks dan juga anemometer untuk memastikan kondisi cuaca berdasarkan kondisi awan, arah angin dan juga kecepatan angin. Sedangkan dalam hal penerapan teknologi Ulir Filter, mengefektifkan banyak hal. Termasuk waktu produksi garam. Jika dengan menggunakan metode konvensional proses kristalisasi air tua (air dari laut dengan kadar garamnya 22 dan siap dikristalisasi menjadi garam) membutuhkan waktu 21-28 hari. Dengan adanya teknologi ulir filter mampu mempercepat proses kristalisasi mencapai 14 hari. Teknologi Ulir Filter ini juga memanfaatkan limbah padat Non B3 PHE WMO berupa pipa sebanyak 0,34785 ton. Pengembangan Siram Berbakat dalam Salt Centre tersebut, juga mampu menyelesaikan permasalahan sampah.
Mereka bekerjasama dengan Rumah Daur Ulang (RDU) Kabupaten Bangkalan. Sampah yang telah dikumpulkan oleh kelompok selanjutnya ditukar dengan briket, yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk proses kristalisasi garam. Garam yang diproses dengan evaporasi dengan memanfaatkan briket ini juga memiliki hasil yang lebih putih dan halus. Inovasi ini juga mampu meningkatkan kapasitas produksi mencapai 50 kg per hari. Field Manager PHE WMO, Markus Pramudito, menjelaskan inovasi ini, petani garam tidak hanya dari Desa Banyusangka tetapi desa sekitar lainnya seperti Desa Tlangoh juga bekerjasama dengan BUMDes Wijaya Kusuma dalam proses distribusi garam. Dengan adanya kerjasama ini BUMDes Wijaya Kusuma telah mampu menjamin stabilitas harga garam khususnya di wilayah Desa Banyusangka dan sekitar Kecamatan Tanjungbumi.
Hingga saat ini sebanyak 7 petani garam bekerjasama dengan BUMDes Wijaya Kusuma. “Program ini mendorong terjadinya kesepakatan kolektif yang ditunjukkan dengan adanya kesepakatan standarisasi harga yang disesuaikan dengan kondisi pasar dan saling menguntungkan antara petani garam, pengrajin ikan asin dan juga BUMDes Wijaya Kusuma. Dengan demikian, program ini juga memutus rantai tengkulak yang selama ini merugikan petani garam,” jelasnya.
Manfaat yang diperoleh juga adalah peningkatan pendapatan kelompok garam tersebut. Ada peningkatan menjadi Rp 176 juta per tahun dan Rp 22 juta dari diversifikasi produk.
Selain itu dari sisi lingkungan, 180 ton sampah terkelola setiap tahun. Diversifikasi produk garam seperti pembuatan bumbu dendeng, sabun cuci, garam relaksasi, eco detergent, dendeng ikan, vanilla sea salt, permen karet, cabe garam, dan bumbu tabur bangkok melibatkan para wanita di desa.
“Pertamina juga memberi pelatihan diversifikasi garam. Bagaimana caranya garam bisa jadi produk lain. BUMDes menyediakan modal untuk ibu-bu itu. Produk mereka dijual BUMDes kepada konsumen,” ujar Ketua Badan Usaha Milik Desa Ahmad Bukhori Muslim di Banyusangka. “Nelayan Banyusangka tak lagi kesulitan mencari garam. Kami menjual garam itu Rp 75-80 ribu setiap 50 kilogram. Ternyata kami bisa memproduksi garam yang sama dengan petani,” tambah Bukhori.