Seorang pemimpin militer akan membentuk kepribadian dan kepemimpinannya dalam pertempuran. Saya termasuk beruntung sebagai perwira muda yang mengalami pembinaan, pengasuhan, dan mentorship dari tokoh-tokoh perang kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada masa itu, tidak ada jaminan bahwa Republik Indonesia akan bertahan. Anggaran untuk pemerintah dan tentara tidak ada. Kebangkitan bangsa ditentukan oleh ribuan putra-putri Indonesia yang memilih untuk berjuang demi kemerdekaan.
Angkatan ’45, atau generasi pembebas, merupakan generasi terbaik Indonesia. Saya sendiri memiliki hubungan dekat dengan tokoh-tokoh angkatan ’45, termasuk keluarga saya sendiri yang merupakan bagian dari angkatan ’45.
Kakek saya, Margono Djojohadikusumo, dipercayakan oleh Bung Karno untuk meneruskan perjuangan kemerdekaan ketika Bung Karno dan tokoh nasionalis pribumi lainnya ditangkap dan dibuang oleh Belanda. Bahkan satu hari sebelum Bung Karno dibuang, kakek saya menerima mandat untuk membentuk Partai Indonesia Raya (PARINDRA).
Dua paman saya, Letnan Subianto Djojohadikusumo dan Taruna Sujono Djojohadikusumo, gugur dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan. Orang tua saya, Soemitro Djojohadikusumo juga terlibat dalam perjuangan kemerdekaan.
Keluarga saya terus mewariskan semangat ’45, yaitu semangat untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, terhormat, adil, rakyatnya makmur, bahagia, dan sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya.
Saya juga memiliki kesempatan berinteraksi dengan banyak tokoh angkatan ’45, yang merupakan pemimpin lapangan dan memberikan banyak pelajaran berharga kepada saya tentang kepemimpinan militer. Mereka adalah orang-orang yang patriotik, percaya diri, cerdas, humoris, dan luwes.
Pada halaman-halaman berikut, saya akan menceritakan kesan-kesan saya terhadap mereka.