Oleh: Prabowo Subianto [dikutip dari “Transformasi Strategis Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045,” hal. 89-90, edisi softcover keempat]
Di luar koefisien Gini, indikator lain dari disparitas ekonomi di Indonesia adalah distribusi geografis aktivitas ekonomi atau peredaran uang dalam negeri.
Pada tahun 2020, PDB Indonesia mencapai USD 1,058 triliun, setara dengan sekitar IDR 15.300 triliun dengan kurs IDR 14.500 per USD.
Menariknya, sekitar 70% dari aktivitas ekonomi ini, total IDR 15.300 triliun, terkonsentrasi di Jakarta. Mayoritas sisanya beredar melalui kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Medan, dan Semarang, dengan hanya sejumlah kecil di desa-desa di seluruh Indonesia, terutama terkonsentrasi di pulau Jawa.
Baru-baru ini saya meninjau laporan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengenai simpanan di bank di seluruh Indonesia. Hingga September 2023, total simpanan mencapai IDR 8.205 triliun.
Menariknya, 52% dari simpanan ini terdapat di cabang-cabang bank di Jakarta, meskipun populasi Jakarta hanya mewakili 3,9% dari total penduduk Indonesia. Rata-rata simpanan per rekening di Jakarta jauh lebih tinggi, yaitu IDR 402 juta, dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar IDR 29 juta per rekening.
Konsentrasi ekonomi ini di Jakarta dan di pulau Jawa memiliki dampak langsung pada kesejahteraan rakyat Indonesia. Infrastruktur seperti jalan, kereta api, dan pasokan listrik relatif kurang memadai di daerah pedesaan dan di luar Jawa.
Misalnya, di kampung halaman saya di Sulawesi Utara, masih umum mengalami pemadaman listrik selama 6-12 jam pada tahun 2019.
Salah satu masalah yang mendesak dan perlu tindakan segera adalah gizi. Di NTT, dua dari tiga anak mengalami kerdil akibat kekurangan gizi—sebuah eufemisme untuk kelaparan ekstrem.
Di Jakarta, tingkat kekurangan gizi memengaruhi satu dari tiga anak—sebuah kontras nyata dengan deretan pencakar langit dan hotel-hotel mewah di kota tersebut.
Keadaan ini sangat mengkhawatirkan karena mengimplikasikan bahwa satu dari tiga orang Indonesia tidak memiliki kesempatan yang sama untuk sukses. Anak-anak yang kekurangan gizi menghadapi tantangan besar di sekolah dan kemungkinan kecil untuk mendapatkan pekerjaan yang memberi penghasilan tinggi sebagai dewasa, yang memperpanjang siklus kemiskinan.