LIEUTENANT JENDERAL TNI (PURN.) HIMAWAN SOETANTO Salah satu nilai yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan bawahannya. Seorang komandan harus berada di antara para bawahannya saat mereka bangun di pagi hari hingga mereka tidur. Seorang komandan harus memeriksa kondisi bawahannya, mulai dari dapur mereka, kamar mandi hingga kualitas pakaian dalam mereka. Berkat Pak Himawan Soetanto, saya telah mengembangkan kebiasaan memeriksa detail dapur dan peralatan bawahannya. Suatu ketika, saya mengetahui bahwa pakaian dalam putih para prajurit berubah menjadi cokelat. Saya juga mengetahui bahwa dapur menjadi sumber praktek korup yang paling banyak. Bayangkan saja, satu kilogram daging diberikan untuk 16 orang. Di TNI, hal ini dikenal sebagai ‘daging pisau cukur’ karena dagingnya sehalus pisau cukur. Sungguh tragis. Itu adalah beberapa hal yang saya pelajari dari kepemimpinan praktis Pak Himawan Soetanto.
Pertama kali saya mengenal Pak Himawan Soetanto adalah ketika saya bergabung dengan AKABRI pada tahun 1970. Saat itu, beliau menjabat sebagai Wakil Gubernur AKABRI yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pelatihan. Beliau sangat terpelajar. Beliau berbicara bahasa Inggris dan Belanda dengan sangat baik. Beliau bahkan bisa sedikit berbicara dalam bahasa Jepang, yang telah dia pelajari selama pendudukan Jepang di Indonesia. Beliau juga gemar membaca buku-buku sejarah. Sekali lagi, tokoh-tokoh besar yang saya kenal adalah pembaca buku yang rajin. Seorang pemimpin adalah seorang pembaca. ‘Pemimpin yang baik harus membaca dengan tekun,’ seperti pepatah terkenal tersebut. Tempat tinggalnya dipenuhi dengan buku-buku. Setiap kali saya bertemu dengannya, kami selalu membahas buku. Kadang-kadang beliau bertanya apakah saya sudah membaca buku karya B. H. Liddell Hart, seorang sejarawan strategi militer Inggris, atau Sun Tzu, seorang ahli strategi militer Tiongkok, dan buku-buku lainnya. Hal lain yang mengesankan saya adalah penampilannya yang rapi. Wajahnya selalu penuh senyuman. Beliau selalu humoris, tenang namun percaya diri, dan dekat dengan bawahannya. Beliau memiliki pengalaman tempur yang panjang, dan itu terlihat dari sikapnya. Hal ini berbeda dengan beberapa yang tidak memiliki banyak pengalaman tempur. Mereka cenderung dingin dan jauh dengan bawahannya. Mereka selalu ingin mematuhi aturan. Istilah kami di TNI untuk jenis figur seperti ini adalah PUD-minded atau perwira PUD. PUD adalah singkatan dari Peraturan Urusan Dalam. Sementara pemimpin TNI yang terbiasa berada di tengah-tengah bawahannya di lapangan biasanya lebih santai dan fleksibel. PUD disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Selain itu, saya ingat sebuah artikel dalam PUD yang menyatakan bahwa komandan unit dapat menyesuaikan PUD dengan kondisi masing-masing unit. Ini berarti bahwa seorang komandan memiliki otoritas yang besar untuk menyesuaikan peraturan berdasarkan kebutuhan dan situasi. Oleh karena itu, salah satu nilai yang saya dapat dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan bawahannya. Komandan harus bersama mereka dari fajar hingga senja. Komandan harus memeriksa kondisi bawahannya, mulai dari dapur, kamar mandi, semua jalan hingga pakaian dalam mereka. Belajar dari Pak Himawan Soetanto, saya memiliki kebiasaan memeriksa detail dapur dan peralatan. Suatu waktu, saya pernah menemukan bahwa pakaian dalam para prajurit saya berwarna cokelat, tidak lagi putih. Saya juga mengetahui bahwa dapur telah menjadi sumber banyak praktek korup. Satu kilogram daging akan dibagi antara 16 orang! Hal ini menjadi terkenal di TNI sebagai ‘daging pisau cukur’, daging sehalus pisau cukur. Tragis. Itu adalah beberapa hal kepemimpinan praktis yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto. Letnan Jenderal Himawan Soetanto memiliki karir yang cemerlang. Beliau menjadi inspirasi bagi banyak orang di militer. Saya sangat dekat dengannya. Saya tetap dekat dengannya bahkan setelah pensiun. Beliau adalah salah satu mento…
nari saya. Beberapa hari sebelum kematiannya, saya mengunjunginya di rumah sakit. Putranya mengatakan bahwa, selain anggota keluarga terdekat, beliau juga ingin bertemu saya. ‘Dimana jenderal yang berada di medan tempur?’ Anak-anaknya bingung siapa yang dimaksud dengan “jenderal di medan tempur”. Beberapa dari mereka mencoba klarifikasi apakah yang dimaksud adalah Saya. Mereka anggukkan kepala mereka. Saya terharu mendengar cerita tersebut. Oleh karena itu, ketika saya datang untuk mengunjunginya, saya tegak berdiri dan memberi hormat kepadanya. Pada saat itu, saya sudah pensiun, dan saya datang mengenakan pakaian sipil. Karena kami sering berbicara dalam bahasa Inggris, saya katakan kepadanya dalam bahasa Inggris, ‘Anda adalah jenderal sejati, Pak!’ Air matanya mengalir. Pada saat itu, beliau sudah tidak bisa berbicara lagi. Itu adalah kenangan saya tentang Pak Himawan Soetanto. Sungguh suatu kehormatan bahwa seorang jenderal yang saya kagumi masih berharap untuk bertemu saya di saat-saat terakhirnya. LETNAN JENDERAL TNI (PURN.) SARWO EDHIE WIBOWO Sarwo Edhie sangat karismatik. Beliau tampan, selalu rapi berpakaian. Beliau dikenal sebagai seseorang yang memimpin dari depan. Bahkan sebagai komandan Pasukan Khusus (RPKAD), beliau terlibat dalam medan tempur. Beliau menjadi idola para pelajar, pemuda, dan idola kami, para perwira muda dan kadet. Sebagai mentor saya di AKABRI, beliau sering membagikan pengalamannya. Pada saat itu, beliau menanamkan dalam diri kami semangat untuk tidak menyerah, semangat patriotisme. Beliau juga sempat menulis buku berjudul ‘Hidup Saya untuk Bangsa dan Negara’. Nilai tersebut ditanamkan dalam diri kami sebagai Kadet AKABRI. Patriotisme melalui cinta tanah air dan kebanggaan akan warisan nenek moyang kita. Itulah yang telah Pak Sarwo tanamkan dalam diri kami. Pertama kalinya saya bertemu Jenderal Sarwo Edhie adalah saat saya masih seorang kadet. Beliau belum menjabat sebagai Gubernur AKABRI (sekarang AKMIL) tetapi beliau sangat terkenal. Pak Sarwo Edhie juga adalah teman dekat orang tua saya. Sebelum saya resmi menjadi kadetnya, saya sudah mendengar banyak cerita tentang Pak Sarwo dari orang tua saya, bagaimana Pak Sarwo memimpin Resimen Para Komando Tentara (RPKAD, sekarang KOPASSUS) pada momen-momen kritikal pada Oktober 1965 selama kudeta G30S/PKI. Beliau adalah sosok karismatik. Beliau tampan, selalu rapi berpakaian. Beliau juga dikenal sebagai komandan yang memimpin operasi dari depan. Sebagai komandan Resimen Para Komando Tentara (RPKAD, sekarang KOPASSUS), beliau masih terlibat di medan, sehingga beliau juga menjadi idola para kadet muda. Sebagai mentor saya di AKABRI, beliau sering berbagi pengalaman. Pada saat itu, beliau menanamkan semangat ketekunan dan patriotisme dalam diri kami. Beliau juga menulis sebuah buku berjudul ‘Hidup Saya untuk Bangsa dan Negara’. Nilai tersebut kita sembah sebagai kadet AKABRI. Semangat patriotisme melalui cinta tanah air dan kebanggaan akan warisan nenek moyang kita, itulah semangat yang Pak Sarwo Edhie tanamkan dalam diri kami. Setelah ia pensiun dari dinas aktif, beliau sebentar menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Korea Selatan. Untuk waktu yang singkat, beliau juga pernah menjadi Ketua Badan Pengawas Pelaksanaan dan Penginternalisasian Nilai-Nilai Pancasila (BP7). Saya ingat bagaimana beliau mempertahankan sikapnya sebagai seorang prajurit. Sebagai seorang prajurit yang dikenal karena kejujuran dan integritasnya, beliau tidak meninggalkan banyak harta saat beliau meninggal. Ke…