Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I: Pemimpin Teladan TNI]
Pak Yogie memang seperti kebanyakan dari generasi ’45. Wajahnya simpatik. Dia memiliki mata tajam dan sikap yang sangat percaya diri. Dia sangat disiplin dan sangat berpengetahuan luas. Dia fasih berbicara dalam banyak bahasa asing, dan tentu saja, dia sangat patriotik.
Nilai kunci yang saya pelajari dari generasi ’45 adalah cinta tanah air yang tidak bersyarat. Mereka juga penuh percaya diri karena berhasil mengusir penjajah.
Pada pertemuan pertama saya dengannya, saya terkesan bahwa dia mengingatkan saya, atau memperingatkan saya, untuk selalu menghormati kedua orang tua saya. Dia sangat taat beragama dan rajin dalam masjidnya. Dia pertama-tama aktif dalam membatasi beberapa perilaku yang tidak terkendali di Korps Baret Merah.
Saya mengenal Pak Yogie Suardi Memet ketika saya lulus dari pelatihan komando di Pusat Pendidikan dan Latihan Pasukan Khusus (PUSDIKLATPASSUS), Batujajar. Saat itu saya adalah Letnan Dua. Setelah lulus, saya melapor kepada Komandan KOPASSANDHA saat itu, Brigadir Jenderal Yogie Suardi Memet.
Meskipun posturnya tidak terlalu tinggi, penampilannya sangat menarik. Dia sangat rapi, dengan rambut pendek, kumis yang terawat dengan baik, dan seragam yang pas. Tidak ada satu sentimeter pun lemak yang terlihat. Dia suka menggulung lengan bajunya untuk menunjukkan otot besar di lengan atas dan trisep. Dia tegas namun simpatik.
Dia adalah contoh dari generasi ’45, penuh percaya diri setelah mengalahkan penjajah asing dan menunjukkan cinta tanah air yang kuat dan tidak bersyarat. Seorang patriot. Dia juga sangat disiplin dan berpengetahuan luas, menguasai berbagai bahasa asing.
Ketika pertama kali bertemu dengannya, saya terkesan bahwa dia mengingatkan saya, atau lebih tepatnya memperingatkan saya, untuk selalu menghormati kedua orang tua saya.
Dia sangat religius dan rajin dalam masjidnya. Dialah yang pertama kali mulai membersihkan ‘kebiasaan buruk’ di antara Korps Baret Merah.
Pada saat itu, budaya minum-minum sangat merajalela di Korps itu. Ada ‘harapan’ bahwa para prajurit yang cakap dalam pertempuran juga harus pandai dalam minum alkohol dan unggul dalam ‘kenakalan’ lainnya.
Menariknya, jika dia menggunakan mobil dinas, dia tidak akan mengizinkan istrinya duduk di depan, bahkan jika itu kosong. Saat itu, mobil dinas Komandan KOPASSANDHA adalah Toyota Land Cruiser dengan atap kanvas. Dalam pandangannya, mobil dinas untuk para komandan, bukan untuk istri mereka. Inilah contoh yang menentukan generasi ’45.
Pak Yogie S. Memet adalah mantan Komandan Batalyon 330 Kujang I Siliwangi. Satuan bawahannya menangkap Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan dalam operasi penyergapan DI/TII di bawah komando Kolonel Infantri Andi Muhammad Yusuf, Komandan Komando Teritorial XIV/Hasanuddin.
Dia bukan lulusan Akademi Militer. Ketika Indonesia baru saja menyatakan kemerdekaannya, negara ini belum memiliki akademi militer. Hanya ada program pelatihan perwira angkatan darat yang disebut P3AD di Bandung. Di situlah ia lulus. Selain Yogie S. Memet, alumni P3AD lain yang terkenal termasuk Jenderal L.B. Moerdani dan Letnan Jenderal Dading Kalbuadi.