Beberapa bulan terakhir, keputusan presiden FIA, Mohammed Ben Sulayem, untuk memperketat aturan kontrol bahasa telah menjadi sorotan utama. Tujuannya adalah agar pembalap tidak mengucapkan kata-kata kasar selama acara resmi seperti konferensi pers. Kebijakan ini, meskipun mendapat kritik dari sebagian pembalap, telah dijadikan contoh keras dalam menegakkan disiplin. Perubahan ini menjadi perhatian khusus setelah kasus Max Verstappen yang dikenai sanksi atas umpatan yang dilontarkan dalam sebuah konferensi pers.
Para pembalap menyampaikan harapan mereka agar FIA dapat memberikan bantuan dalam peraturan baru yang diperkenalkan, yang memperketat hukuman finansial dan kemungkinan pengurangan poin di klasemen. Namun, pengumuman FIA tentang kemungkinan intervensi pada komunikasi radio antara tim dan pembalap mengindikasikan bahwa badan pengatur tidak akan mengubah langkahnya. Dampak dari pembatasan komunikasi ini tidak hanya berpengaruh pada konferensi pers, tetapi juga pada peraturan yang akan mengatur komunikasi langsung antara tim dan pembalap.
Presiden FIA, Mohammed Ben Sulayem, memberikan petunjuk bahwa peninjauan pada intervensi tim radio harus dilakukan. Namun, implementasi rencana ini memiliki tantangan tersendiri, terutama jika bertabrakan dengan kebijakan promotor F1. Sementara FIA berupaya untuk mengatur bahasa yang digunakan dalam balapan, FOM sebagai pemilik hak siar memiliki kendali atas siaran dan isi acara. Strategi manajemen tim radio FOM sendiri telah memengaruhi dinamika balapan, bahkan dengan potongan pesan yang dimaksudkan untuk meningkatkan ketegangan.
Dengan kompleksitas regulasi bahasa dan komunikasi dalam Formula 1, peran kedua badan pengatur ini, FIA dan FOM, perlu dipertimbangkan untuk menjaga keseimbangan antara keamanan, hiburan, dan keadilan dalam olahraga balap mobil ini. Hingga saat ini, perdebatan tentang kontrol bahasa dan komunikasi tetap menjadi topik hangat di dunia Formula 1.