VIVA – Kasus kematian seorang anak laki-laki dengan inisial AM (13) yang ditemukan mengambang di bawah Jembatan Kuranji, Padang, Sumatera Barat pada Minggu, 9 Juni 2024, masih menjadi perdebatan.
Kuat dugaan, anak tersebut menjadi korban penganiayaan oleh oknum polisi di Kota Padang, Sumatera Barat.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang yang ditugaskan oleh keluarga AM, mengklaim bahwa kematian AM diduga karena penyiksaan yang dilakukan oleh oknum polisi yang membubarkan aksi tawuran Minggu sebelumnya.
Berdasarkan penyelidikan LBH Padang, sejumlah anak dituduh terlibat dalam tawuran dan kemudian mereka mengalami penyiksaan yang diduga dilakukan oleh anggota Sabhara Polda Sumbar yang sedang patroli pada Minggu, 9 Juni 2024 pukul 03.30 WIB.
Selain AM, penyiksaan juga dilakukan terhadap 5 anak dan 2 dewasa (usia 18 tahun) lainnya yang mengakibatkan luka-luka karena tindakan penyiksaan oleh anggota kepolisian.
“Mereka mengalami penyiksaan berupa pukulan, sengatan listrik, pukulan dengan rotan atau kayu manau, tendangan motor, atau langsung pada tubuh korban dan diberi puntung rokok pada tubuh korban. Bahkan ada laporan mengenai kekerasan seksual berupa pemaksaan ciuman sejenis,” kata LBH Padang dalam pernyataan tertulisnya pada Selasa, 25 Juni 2024.
Menurut LBH Padang, peristiwa dimulai ketika AM ditemukan terapung tanpa nyawa oleh warga sekitar pada Minggu, 9 Juni 2024 pukul 11.55 WIB di bawah jembatan Batang Kuranji, Jalan By Pass KM 9, Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Kota Padang.
Sebelumnya, AM bersama temannya dengan inisial A pada Minggu dini hari, sekitar pukul 04.00 WIB, sedang mengendarai sepeda motor ke arah utara.
Saat itu, AM dan A diduga dihampiri oleh anggota Sabhara Kepolisian Daerah Sumatera Barat yang sedang patroli menggunakan sepeda motor dinas jenis KLX.
Langsung saja oknum anggota polisi tersebut menendang kendaraan yang dikendarai oleh AM dan A hingga jatuh ke sisi jalan.
Selanjutnya, AM dan A ditangkap oleh anggota polisi dari Polda Sumbar dan dibawa ke Kepolisian Sektor Kuranji. A melihat bahwa AM berdiri dan dikelilingi oleh anggota polisi yang memegang rotan. Namun, A tidak pernah melihat AM lagi setelah itu.
“Pada saat dibawa ke Polsek Kuranji, A dan korban-korban lainnya diinterogasi, bahkan A ditendang 2 kali di wajah, disengat listrik, dan diancam jika melaporkan kejadian yang dialami maka akan ditindaklanjuti,” katanya.
Selanjutnya, A dan korban-korban lainnya disuruh jalan jongkok dan berguling-guling oleh polisi di Poda Sumbar sampai muntah, dan dilarang berhenti sebelum muntah.
Hingga pukul 10.00 WIB, setelah sepakat tidak melakukan kesalahan yang sama lagi, A dan korban-korban lain diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing.
Beberapa saat kemudian, warga menemukan mayat mengapung di bawah jembatan Batang Kuranji. Saat ditemukan, AM mengalami luka lebam di pinggang kiri, punggung, pergelangan tangan, siku, pipi kiri, dan kepala bagian belakang dekat telinga.
Kemudian AM dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk diautopsi guna penyelidikan lebih lanjut.
Pada Senin, 10 Juni 2024, keluarga AM menerima salinan sertifikat kematian dari Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sumbar, yang menyatakan bahwa hasil autopsi menunjukkan kematian tidak wajar.
Di sisi lain, keluarga korban diberitahu oleh anggota Kepolisian Resor Kota Padang bahwa AM meninggal karena patah 6 tulang rusuk dan paru-paru robek.
Keluarga korban melalui ayah kandung AM membuat laporan ke Polresta Padang.
LBH Padang mengecam tindakan penegakan hukum yang melanggar hukum dan HAM. Mereka menegaskan bahwa polisi yang melakukan penyiksaan terhadap anak-anak adalah pelanggar HAM yang layak untuk diberhentikan dari korps kepolisian.
LBH juga mendesak Kapolda Sumbar untuk memproses hukum anggotanya yang melakukan penyiksaan terhadap anak dan dewasa dalam kasus tragedi jembatan Kuranji Kota Padang dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan KUHP untuk kasus orang dewasa.
Mereka juga mendesak Kepala Kepolisian Sumatera Barat untuk mengevaluasi metode dan pendekatan untuk tindakan pencegahan tawuran di Kota Padang. Penggunaan kekerasan dan penyiksaan dianggap sebagai kesalahan fatal dalam penanganan tawuran.
LBH juga mendorong Komnas HAM Perwakilan Sumbar untuk memantau dan memastikan bahwa setiap proses hukum dalam kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat penegak hukum berjalan secara objektif, profesional, dan transparan untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya.