Berita  

Krisis Pernikahan China: Perdagangan Pengantin Internasional

Menurunnya angka pernikahan di China telah menjadi tantangan sosial dan demografis yang besar, dengan dampak luas terhadap perkembangan jangka panjang negara tersebut. Berakar pada kebijakan sejarah seperti kebijakan satu anak dan preferensi budaya terhadap anak laki-laki, ketidakseimbangan gender yang dihasilkan telah menyebabkan jutaan pria tetap melajang. Fenomena ini memperburuk tren yang mengkhawatirkan: meningkatnya permintaan terhadap pengantin hasil perdagangan manusia dari negara-negara tetangga.

Dilansir Etruth, selama beberapa dekade terakhir, jumlah pendaftaran pernikahan di China mengalami penurunan tajam, terutama pada tahun 2024. Faktor pendorong perubahan ini termasuk beban ekonomi, perubahan norma sosial, dan peningkatan tingkat pendidikan. Nilai-nilai tradisional tentang pernikahan dan memiliki anak semakin dipertanyakan oleh perempuan perkotaan, menciptakan pergeseran generasi dari konvensi yang dianut oleh pendahulu mereka.

Ketidakseimbangan gender yang terus berlanjut di China telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, dengan rasio kelahiran yang tidak seimbang antara anak laki-laki dan anak perempuan. Fenomena “pria yang tersisa” menggambarkan situasi di mana jutaan pria China berisiko tetap melajang akibat ketidakseimbangan demografis ini. Kesulitan menemukan pasangan semakin terasa, terutama di daerah pedesaan. Akibatnya, sebagian pria mencari pasangan di luar perbatasan, yang memicu perdagangan perempuan dari negara-negara tetangga seperti Myanmar, Vietnam, dan Kamboja.

Perempuan yang diperdagangkan ke China mengalami penderitaan yang cukup berat. Mereka dijual dengan harga bervariasi dan sering kali terisolasi tanpa dukungan, bahkan dipaksa melakukan kerja paksa. Masalah ini menciptakan pola pelecehan sistemik dan pelanggaran hak asasi manusia yang tidak dapat diabaikan. Untuk mengatasi krisis demografis dan dampaknya yang luas, diperlukan langkah-langkah komprehensif yang mencakup pembangunan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, peningkatan kesadaran akan perdagangan manusia, dan kerja sama internasional yang kuat.

Kesimpulannya, China dihadapkan pada tantangan yang kompleks terkait turunnya angka pernikahan dan dampaknya yang meluas. Menangani masalah ini memerlukan langkah-langkah berani dan terencana yang dapat mengubah struktur sosial, mendukung pria dan wanita secara adil, dan melindungi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Menyikapi dilema demografis ini dengan cepat dan efektif akan menjadi kunci bagi masa depan China dalam beberapa generasi mendatang.

Source link