Ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, menegaskan bahwa hasil penyadapan yang diperoleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanpa seizin Dewan Pengawas (Dewas) menjadi tidak sah sebagai alat bukti. Pernyataan tersebut disampaikan saat Fatahillah menjadi ahli dalam sidang kasus dugaan suap PAW DPR yang melibatkan Sekertaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto.
Fatahillah menjelaskan bahwa keabsahan hasil penyadapan berlaku bagi data yang diperoleh setelah putusan Mahkamah Agung tahun 2021 yang membatalkan Undang-Undang nomor 19 tahun 2019. Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait prosedur izin penyadapan KPK oleh Dewas setelah perubahan undang-undang tersebut.
Dalam sidang, kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah, menanyakan aspek legalitas penyadapan tanpa seizin Dewas. Fatahillah menjelaskan bahwa hasil penyadapan sebelum pembatalan undang-undang harus didukung dengan izin, namun peraturan ini belum berlaku secara pasti akibat dari eksklusivitas hakim dalam menilai kekuatan alat bukti.
JPU KPK menghadirkan sejumlah saksi penyidik dalam persidangan Hasto yang didakwa atas kasus suap dengan melibatkan sejumlah pihak yang terkait. Ancaman pidana terhadap Hasto diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Dari penjelasan Fatahillah, dapat disimpulkan bahwa keberadaan izin Dewas dalam penyadapan yang dilakukan oleh KPK menjadi krusial untuk menjaga keabsahan alat bukti guna mendukung proses hukum yang berjalan. Kehadiran ahli hukum dalam persidangan turut memperjelas pentingnya aspek legalitas dan prosedur dalam penanganan kasus-kasus korupsi yang melibatkan pihak-pihak terkait.