Pemakzulan adalah istilah yang sering dibicarakan dalam konteks politik, terutama ketika terjadi masalah serius dalam kepemimpinan atau dugaan pelanggaran hukum oleh pejabat tinggi. Namun, untuk memahami dengan jelas apa sebenarnya pemakzulan dan siapa yang dapat menjalani proses ini, penting bagi masyarakat untuk memiliki pemahaman yang mendalam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makzul diartikan sebagai kondisi di mana seseorang berhenti dari jabatannya atau turun dari tahta. Dari sini, bermunculan bentuk turunan seperti memakzulkan dan pemakzulan.
Memakzulkan mengacu pada tindakan untuk menurunkan seseorang dari tahta, memberhentikannya dari suatu jabatan, atau secara sukarela melepaskan kedudukannya, terutama dalam konteks kerajaan. Sementara pemakzulan menggambarkan proses, cara, atau tindakan untuk menurunkan atau memberhentikan seseorang dari jabatan tersebut. Ini dapat diterapkan pada presiden sebagai suatu prosedur resmi untuk memberhentikan kepala negara dari posisinya.
Adapun aturan mengenai pemakzulan sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, meskipun tidak secara eksplisit menggunakan kata makzul, memakzulkan, atau pemakzulan. Pemakzulan hanya bisa diterapkan pada presiden atau wakil presiden yang sudah menjabat, seperti yang dijelaskan oleh ahli Hukum Tata Negara, Feri Amsari.
Proses pemakzulan di Indonesia memiliki mekanisme tertentu, dimulai dari penyampaian pendapat oleh minimal 25 anggota DPR, dilanjutkan dengan pemeriksaan oleh MK, dan diakhiri dengan pengambilan keputusan di MPR. Setiap tahapannya memerlukan bukti yang kuat, proses hukum yang adil, dan pertimbangan konstitusional yang ketat untuk menjaga stabilitas pemerintahan dan memastikan pemberhentian presiden atau wakil presiden dilakukan atas dasar pelanggaran hukum serius, bukan karena tekanan politik atau kepentingan kelompok tertentu.