Pada hari Rabu, 2 Juli 2025, Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra (38), mengalami penonaktifan sementara dari jabatannya oleh pengadilan karena kasus bocornya percakapan telepon dengan mantan pemimpin Kamboja, Hun Sen. Mahkamah Konstitusi Thailand menerima 36 petisi dari senator yang menuduh Paetongtarn melanggar standar etika dengan percakapan politis yang mengandung nuansa dengan Hun Sen. Sebagai respons, pemerintah diharapkan akan dijalankan oleh wakil perdana menteri sementara sambil Mahkamah Konstitusi meninjau kasus tersebut. Meskipun demikian, Paetongtarn tetap menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dalam kabinet setelah dilakukan perombakan.
Bocornya percakapan telepon antara Paetongtarn dan Hun Sen memicu kemarahan publik dan menyebabkan dukungan mayoritas koalisi pemerintah menurun. Bahkan, partai Bhumjaithai, salah satu partai kunci dalam koalisi, telah meninggalkan aliansi tersebut dan diperkirakan akan mengajukan mosi tidak percaya di parlemen. Demonstran juga menuntut agar perdana menteri tersebut mundur dari jabatannya.
Dalam percakapan yang bocor pada tanggal 15 Juni 2025, beberapa dialog antara Paetongtarn dan Hun Sen menjadi perhatian publik, di mana Paetongtarn memohon agar Hun Sen memberikan keleluasaan kepada dirinya dan berjanji untuk membantu jika ada permintaan khusus. Meskipun Paetongtarn telah meminta maaf dan menyatakan bahwa panggilan tersebut dimaksudkan untuk meredakan ketegangan di perbatasan, banyak pihak menilai pernyataannya merendahkan militer dan menjadi ancaman bagi kedaulatan nasional.
Sebagai respons atas skandal ini, puluhan ribu demonstran termasuk kelompok pro-monarki Yellow Shirts menggelar protes di Bangkok dan menyerukan agar Paetongtarn mengundurkan diri. Peristiwa tersebut menciptakan ketegangan di dalam negeri, dengan pihak-pihak terkait terus memantau perkembangan kasus tersebut.