Parlemen Malaysia telah secara resmi mengesahkan RUU Pekerja Gig 2025 yang diharapkan akan memberikan perlindungan bagi sekitar 1,2 juta individu yang terlibat dalam ekonomi gig di Malaysia. Apa yang dimaksud dengan pekerja gig adalah pekerja tidak tetap berdasarkan proyek atau dengan jangka waktu tertentu, seperti pekerja lepas, kurir, ojek/taksi online, hingga pekerja seni dan musisi. RUU berisi 112 klausul dalam 10 bagian, dan disetujui setelah mendapat suara terbanyak di Dewan Rakyat.
Undang-undang baru ini memberikan pengakuan resmi bagi pekerja gig sebagai kategori tersendiri dalam angkatan kerja, serta memperkenalkan perlindungan hukum melalui perjanjian layanan tertulis antara pekerja dan entitas pemberi kerja. Menteri Sumber Daya Manusia, Steven Sim Chee Keong, menyatakan bahwa RUU ini telah lama dinanti untuk mengatasi ketimpangan dalam perlindungan ketenagakerjaan bagi pekerja gig di Malaysia.
Salah satu poin penting dari RUU Pekerja Gig adalah mewajibkan entitas yang terikat kontrak, termasuk platform digital seperti Grab dan FoodPanda, untuk menandatangani perjanjian layanan tertulis dengan pekerja gig. Perjanjian tersebut harus menjelaskan standar minimum terkait pembayaran, pengaturan kerja, pertanggungan asuransi, dan prosedur pemutusan hubungan kerja.
Selain itu, RUU ini juga melarang praktik-praktik tidak adil seperti perubahan tarif sepihak, penonaktifan pekerja secara sewenang-wenang, dan pembatasan kerja di berbagai platform. Pengadilan Pekerja Gig juga akan dibentuk untuk menyelesaikan perselisihan di industri ini, dengan kewenangan untuk memerintahkan kompensasi atau pemulihan.
Di Indonesia, regulasi terkait dengan bisnis transportasi online masih mengalami persoalan dan protes berkali-kali dari mitra pengemudi ojek dan taksi online terkait kondisi kesejahteraan mereka. Meskipun beberapa peraturan sudah diterbitkan, seperti Permenhub Nomor 117 Tahun 2018, masih ada kebutuhan untuk undang-undang yang khusus mengatur transportasi berbasis aplikasi agar perlindungan terhadap pekerja terjamin. Komisi V DPR RI menyatakan kesiapan untuk membahas undang-undang tersebut demi kepentingan semua pihak yang terlibat dalam industri transportasi online.