Pada Sabtu, 25 Oktober 2025, Vladimir Putin menyatakan bahwa Rusia tidak akan menyerah pada tekanan dari AS meskipun mengakui bahwa sanksi baru dapat membawa kerugian ekonomi, terutama setelah Tiongkok dan India melaporkan penurunan impor minyak dari Rusia sebagai respons terhadap tindakan AS yang menargetkan dua produsen minyak terbesar di Moskow. Putin menegaskan bahwa langkah ini bukanlah untuk memperbaiki hubungan antara Rusia dan Amerika Serikat.
AS memberlakukan sanksi terhadap Rosneft dan Lukoil, dua perusahaan minyak terbesar di Rusia, serta anak perusahaan mereka sebagai bagian dari upaya pemerintahan Trump untuk meningkatkan tekanan terhadap Kremlin terkait konflik di Ukraina. Selain itu, Uni Eropa juga menyetujui larangan bertahap impor gas alam cair dari Rusia dan menambahkan dua kilang minyak Tiongkok dalam daftar sanksi.
Sanksi terhadap Rosneft dan Lukoil, yang merupakan kontributor besar dalam ekspor minyak Rusia, ditujukan untuk memutus pendapatan minyak yang mendukung kegiatan militer Rusia. Washington berharap bahwa sanksi ini akan memaksa Putin untuk kembali ke meja perundingan dengan merusak perekonomian Rusia.
Putin menanggapi sanksi AS dengan menyatakan bahwa tindakan tersebut tidak akan memperkuat hubungan antara Rusia dan Amerika Serikat, melainkan bertujuan untuk menekan Rusia. Meskipun Putin menegaskan bahwa sanksi tersebut tidak akan berdampak signifikan, dia juga mengakui bahwa beberapa kerugian ekonomi mungkin terjadi. Putin juga memperingatkan Trump tentang respons yang mungkin akan lebih kuat jika Rusia diserang dengan rudal dari AS.
Dengan demikian, reaksi terhadap sanksi yang diberlakukan oleh AS terhadap Rusia terus berkembang, menunjukkan ketegangan yang masih ada antara kedua negara tersebut.












