Jakarta – Adanya peraturan mengenai registrasi pemilik pekerja migran dan sertifikasi pelaut, serta visa kerja dianggap meningkatkan beban yang juga berdampak pada daya saing pelaut Indonesia dengan pelaut dari negara lain.
Baca Juga:
Pesan Menteri Hadi untuk Warga Sidoarjo: Jangan Mudah Kasih Sertifikat ke Orang Lain
Hal tersebut diungkapkan Denny Ardiansyah, kuasa hukum dari Imam Syafi’i (Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) dan Ahmad Daryoko (Direktur PT Mirana Nusantara Indonesia) dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu, 25 Oktober 2023.
Sidang kedua ini bertujuan mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan perkara Nomor 127/PUU-XXI/2023.
Baca Juga:
Gandeng Satgas Sawit dan Dinas Kehutanan, ATR/BPN Jamin Legalitas HGU Sawit
Dalam sidang tersebut, Denny menjelaskan perbaikan permohonan tersebut. Salah satunya adalah memperkuat argumen pengujian Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).
Baca Juga:
Tanah Ulayat Milik 4 Suku di Sumatera Barat Kini Terbebas dari Praktik Mafia
Perbaikan selanjutnya adalah menambahkan deskripsi tentang legal standing Pemohon III dengan melampirkan AD/ART organisasi, dan legal standing Pemohon II dengan melampirkan identitas diri.
Lebih lanjut, Denny menjelaskan bahwa untuk kerugian konstitusional Pemohon I dan II, mereka menyertakan argumen bahwa adanya peraturan mengenai registrasi pemilik pekerja migran dan sertifikasi pelaut serta visa kerja, meningkatkan beban yang juga berdampak pada daya saing pelaut Indonesia dengan pelaut dari negara lain.
Sedangkan untuk Pemohon III, Denny menjelaskan bahwa adanya dualisme peraturan menyebabkan kebingungan bagi perusahaan dalam menentukan izin usaha antara menggunakan izin sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja atau Kementerian Perhubungan.
Selain itu, dalam permohonan ini juga diberitahukan bahwa Pemohon III saat ini sedang berstatus sebagai terdakwa dan ditahan di penjara karena diduga melakukan perdagangan orang.
“Dalam perbaikan ini juga ditambahkan argumen tentang perbandingan dengan negara lain mengenai posisi pelaut. Kami membandingkannya dengan aturan dari Filipina yang menggunakan Undang-Undang Komisi Nasional Pelaut yang diterbitkan pada tahun 2017,” ujar Denny.
Denny menambahkan, Komisi Nasional Pelaut mengurus hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan pelaut sehingga tercipta pelaut profesional, karena pengelolaan urusan ini dilaksanakan oleh pengelola yang memiliki latar belakang ilmu yang memadai.
Sebagai informasi tambahan, MK pada Rabu, 11 Oktober menggelar sidang pendahuluan untuk menguji Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) yang telah diubah oleh UU Cipta Kerja.
Permohonan Nomor 127/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Imam Syafi’i selaku Ketua Umum Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I), Untung Dihako (Pemohon II), dan Ahmad Daryoko selaku Direktur PT Mirana Nusantara Indonesia (Pemohon III).
Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI menyebutkan, “Pekerja migran Indonesia meliputi: … c. Pelaut awak kapal dan pelaut perikanan.” Menurut para Pemohon, pasal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Imam Syafi’i (Pemohon I) berpendapat bahwa penerapan norma tersebut berdampak pada tumpang tindih regulasi dari beberapa undang-undang, seperti UU 17/2008 tentang Pelayaran, PP 31/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran, dan PP 22/2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.
Dengan peralihan wewenang pengelolaan urusan pelayaran dari Kementerian Perhubungan ke Kementerian