portal terpopuler,prabowo subianto yang humanis,berani dan tegas
Berita  

KPK Berhasil Menertibkan Tambang Ilegal di NTB, Mencapai Nilai Rp 1,08 Triliun Setiap Tahun

KPK Berhasil Menertibkan Tambang Ilegal di NTB, Mencapai Nilai Rp 1,08 Triliun Setiap Tahun

Jumat, 4 Oktober 2024 – 22:50 WIB

Jakarta, VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan pendampingan secara intensif kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat atau NTB, Jumat 4 Oktober 2024. Pendampingan itu dilakukan KPK melalui Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V, dalam menertibkan sejumlah tambang ilegal yang beroperasi di Dusun Lendek Bare, Sekotong, Lombok Barat.

Baca Juga :

Dipanggil Terkait Kasus Abdul Gani Kasuba, KPK Ingatkan David Glen Oei Harus Kooperatif

KPK melakukan hal tersebut, karena sudah menjadi tugas dan kewenangannya untuk mendorong optimalisasi pajak atau pendapatan asli daerah (PAD), yang termasuk dalam salah satu fokus dari Monitoring Center for Prevention (MCP).

Hal ini dilakukan dengan bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pendapatan daerah.

Baca Juga :

KPK di Urutan Terbawah Lembaga Hukum Paling Dipercaya Publik, Menurut Indikator Politik

Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Korsup Wilayah V KPK, Dian Patria mengatakan bahwa aktivitas tambang ilegal yang berlokasi di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) ini diduga telah dimulai sejak 2021 dan diperkirakan menghasilkan omzet hingga Rp 90 miliar per bulan, atau sekitar Rp 1,08 triliun per tahun.

Dian menyebut omzet tersebut didapatkan berdasarkan dari tiga stockpile (tempat penyimpanan) di satu titik tambang emas wilayah Sekotong, seluas lapangan bola.

“Ini baru satu lokasi, dengan tiga stockpile. Dan kita tahu, mungkin di sebelahnya ada lagi. Belum lagi yang di Lantung, yang di Dompu, yang di Sumbawa Barat, berapa itu perbulannya? Bisa jadi sampai triliunan kerugian untuk negara,” ujar Dian Patria dalam keterangannya, Jumat 4 Oktober 2024.

Baca Juga :

Alasan KPK Hibahkan Mobil Vellfire Eks Bupati Lampung Selatan

Sementara itu, menurut data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) tercatat ada kurang lebih 26 titik tambang ilegal di wilayah Sekotong yang berada di atas 98,16 hektare tanah. Hal ini menunjukkan besarnya potensi kerugian negara, apalagi tambang ilegal tidak membayar pajak, royalti, iuran tetap dan lainnya.

Lebih lanjut, Dian menyebutkan upaya penertiban ini dilakukan usai adanya dugaan modus konspirasi antara pemilik izin usaha pertambangan (IUP) dan operator tambang ilegal. Meski kawasan tersebut memiliki izin pertambangan resmi dari PT Indotan Lombok Barat Bangkit (ILBB), keberadaan tambang ilegal terus dibiarkan.

Bahkan, papan tanda IUP ILBB baru dipasang pada bulan Agustus 2024, setelah bertahun-tahun tambang tersebut beroperasi.

“Kami melihat ada potensi modus operandi di sini, dimana pemegang izin tidak mengambil tindakan atas operasi tambang ilegal ini, mungkin dengan tujuan untuk menghindari kewajiban pembayaran pajak, royalti, dan kewajiban lainnya kepada negara,” kata Dian.

KPK juga menemukan sebagian alat berat hingga bahan kimia yang digunakan untuk menjalankan tambang ilegal ini. Alat berat dan terpal khusus yang digunakan untuk proses penyiraman sianida berasal dari Cina, yang menambah kompleksitas permasalahan ini.

Dian menyebut di lokasi juga terdapat limbah merkuri dan sianida yang dihasilkan dari proses pengolahan emas yang berpotensi mencemari lingkungan sekitar.

Setelah itu, KPK langsung memasangi plang untuk penertiban tambang ilegal di NTB. KPK bersama dengan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara (Jabal Nusra) serta DLHK NTB, pun melakukan pemasangan plang berukuran 2,5 x 1,6 meter.

Dalam plang tersebut, tertulis bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin dalam bentuk apa pun di dalam kawasan hutan pelangan Sekotong.”

Jika melanggar, akan dikenakan Pasal 89 jo Pasal 17 Ayat (1) Huruf B Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun serta denda paling banyak Rp 10 miliar.

Halaman Selanjutnya

“Kami melihat ada potensi modus operandi di sini, dimana pemegang izin tidak mengambil tindakan atas operasi tambang ilegal ini, mungkin dengan tujuan untuk menghindari kewajiban pembayaran pajak, royalti, dan kewajiban lainnya kepada negara,” kata Dian.

Halaman Selanjutnya